3 Kejanggalan Kematian Dosen Untag Versi Tim Hukum

3 Kejanggalan Kematian Dosen Untag Versi Tim Hukum

Pilar Update — Kematian tragis dosen muda Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Dr. Dwinanda Linchia “Levi”, menimbulkan banyak tanda tanya. Tim advokasi dan hukum Untag, yang dibentuk untuk mengawal proses penyelidikan, menyebut setidaknya tiga kejanggalan utama dalam kasus tersebut. Berikut analisis terperinci mengenai poin-poin yang di persoalkan. Salah satu kejanggalan paling mencolok menurut tim hukum Untag adalah rentang waktu antara dugaan kematian Levi dan kapan kampus mendapatkan kabar. Berdasarkan pernyataan Tim Advokasi BKBH Untag. Kampus baru mendapat informasi resmi kematian sekitar pukul 14.30 WIB. Padahal korban di perkirakan sudah meninggal pada pagi hari.

Ketua Tim Advokasi, Agus Widodo menyatakan kekhawatiran bahwa jeda waktu ini sangat panjang dan memunculkan dugaan-dugaan yang perlu di klarifikasi. Menurutnya, keterlambatan ini bahkan di sampaikan justru melalui rekan dosen. Bukan langsung dari pihak kepolisian. Kejanggalan ini di anggap penting karena bisa memengaruhi pengumpulan bukti forensik dan visum jenazah, apalagi jika prosedur awal penanganan jenazah tidak transparan. Tim hukum Untag menuntut agar proses penyelidikan berjalan dengan jelas dan profesional> tanpa adanya celah yang bisa menutup fakta-fakta penting.

Bukti Digital Belum Diperiksa Secara Menyeluruh

Kedua, tim hukum kampus sangat menyoroti bahwa bukti digital milik almarhumah belum di periksa secara tuntas. Mereka mendesak di lakukannya forensik digital terhadap ponsel, laptop, hingga CCTV yang mungkin terkait lokasi kejadian.

Kekhawatiran ini muncul karena hanya melakukan visum luar atau dalam di anggap tidak cukup untuk memastikan penyebab kematian. Menurut Tim Hukum Untag, pemeriksaan terhadap perangkat digital dapat mengungkap aktivitas terakhir korban misalnya pesan. Panggilan telepon. Atau catatan lain yang bisa menunjukkan apakah ada tekanan, intimidasi, atau interaksi mencurigakan sebelum kematiannya.

Langkah ini di nilai sangat krusial agar penyelidikan tidak hanya bergantung pada temuan fisik semata. Tetapi juga pada jejak digital yang bisa memberi gambaran lebih utuh terkait kronologi terakhir kehidupan dosen Levi.

Keterlibatan Oknum Polisi Saksi Kunci dan Pertanyaan Etika

Poin ketiga adalah yang paling sensitif yaitu keberadaan seorang perwira polisi di kamar korban saat kematian di temukan, serta hubungannya yang di pertanyakan oleh tim hukum. Korban di temukan di kamar kostel di Semarang. Dalam kondisi tanpa busana, dan yang pertama kali melaporkan kematiannya adalah AKBP B (Basuki), seorang perwira Polri yang bertugas di Direktorat Samapta Polda Jawa Tengah.

Alumni Untag dan tim hukum menilai keberadaan polisi ini aneh, karena menurut mereka tidak ada indikasi bahwa korban terkait dengan tindakan kriminal. Mereka mempertanyakan bagaimana bisa seorang polisi non‑penegakan pidana berada di kamar tersebut saat kejadian. Serta mengapa ia kemudian menjadi saksi utama.

Lebih jauh. Ada isu etika: nama polisi tersebut tercatat dalam satu kartu keluarga (KK) bersama korban, meski keluarga korban menyatakan tidak pernah mengenalnya. Tim hukum Untag menganggap hal ini menciptakan konflik kepentingan potensial dan meminta agar penyelidikan juga mempertimbangkan aspek ini.

Tidak hanya itu, pihak Propam Polda Jateng sudah menempatkan AKBP B dalam penempatan khusus (patsus) selama 20 hari terkait dugaan pelanggaran kode etik profesi Polri. Tim hukum menganggap langkah itu positif, tetapi mereka menuntut transparansi penuh dalam hasil pemeriksaan dan penanganan kasus etik ini.