Pilar Update – Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengesahkan Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang menuai kritik tajam dari berbagai pihak, terutama dari masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Undang-undang ini memberikan wewenang besar kepada kepolisian untuk melakukan penahanan atau penangkapan sebelum adanya bukti pasti bahwa suatu kejahatan telah terjadi. Langkah ini di anggap sebagian pihak kontroversial karena di anggap berpotensi membuka celah penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum. (The Australian)
Pasal-pasal dalam KUHAP baru tersebut memungkinkan polisi melakukan penjebakan atau penyamaran untuk menangkap seseorang pada tahap penyelidikan awal. Bahkan, penahanan dapat di lakukan sebelum dakwaan di susun secara resmi di pengadilan. Para kritikus menilai bahwa hal ini sangat riskan karena proses awal penyelidikan cenderung kurang di awasi secara yudisial. Dengan kata lain. Polisi memiliki ruang yang luas untuk menentukan siapa yang bisa di tahan, tanpa adanya mekanisme pemeriksaan awal oleh hakim. (The Australian)
Kritik ini juga di suarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menegaskan bahwa tidak adanya kewajiban izin hakim sebelum penahanan dalam banyak kasus melemahkan prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers). ICJR menekankan bahwa mekanisme ini bisa membuat polisi memiliki kekuatan tunggal dalam menentukan nasib tersangka, sehingga risiko pelanggaran hak sipil meningkat. (The Australian)
Namun. Pemerintah membela undang-undang baru ini dengan argumen bahwa KUHAP baru justru memperkuat hak-hak tersangka. Misalnya, ada perlindungan khusus bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, lansia, dan perempuan. Selain itu, proses interogasi di wajibkan untuk di rekam melalui CCTV agar mencegah praktik penyiksaan atau intimidasi. Pemerintah menegaskan bahwa reformasi ini di maksudkan untuk membuat proses hukum lebih modern, efisien, dan transparan. (The Australian)
Meski pemerintah menekankan adanya perlindungan bagi tersangka, banyak pihak masih merasa skeptis. LSM menyoroti bahwa perlindungan tersebut hanya bersifat administratif, sementara risiko penyalahgunaan kekuasaan tetap tinggi jika tidak ada pengawasan yudisial yang ketat. Mereka menuntut agar pemerintah segera memperkuat mekanisme kontrol internal di kepolisian dan memberikan jaminan perlindungan hukum yang lebih nyata bagi masyarakat. (The Australian)
Selain itu, para pengamat hukum juga mencatat bahwa KUHAP baru ini bisa berdampak pada kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Jika masyarakat merasa hak-hak sipil mereka mudah di langgar, maka ketidakpercayaan terhadap polisi dan sistem peradilan bisa meningkat. Di tengah polemik ini, perdebatan antara efisiensi aparat dan perlindungan hak sipil terus bergulir di ruang publik. (The Australian)